PINRANG, Mosulbar.com – Polemik kepemilikan dan pengelolaan Cekdam Radda di Dusun Bulisu, Kelurahan Kassa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, kini terus bergulir. Warga setempat, khususnya keluarga Sinada, merasa terzalimi dan menjerit meminta keadilan atas lahan yang telah mereka kuasai secara turun-temurun sejak 1930-an. Jumat pekan, 22/08/2025.


Menurut penuturan Sinada, lahan tersebut awalnya merupakan kebun kakao milik ayahnya, Palemmai, yang sebelumnya diwarisi dari neneknya, Pallorong. Atas ajakan Kepala Kampung saat itu, P. Juddin, lahan tersebut dialihfungsikan menjadi Teppo (bendungan kecil) tanpa ganti rugi, dengan perjanjian lisan bahwa keluarga Palemmai tetap berhak menguasai sekaligus mengelolanya untuk membantu pengairan sawah masyarakat sekitar.


“Sejak tahun 2023 saya mendapat banyak teror untuk meninggalkan lokasi. Padahal Cekdam itu adalah warisan orang tua saya. Kami sepakat dulu membuat Teppo demi masyarakat, tapi bukan berarti kami harus kehilangan hak kami,” ujar Sinada dengan nada pilu.


Lebih jauh, Sinada mengaku telah 11 kali mengalami penjarahan ikan yang dipeliharanya di Cekdam tersebut. Ironisnya, meski berkali-kali melapor ke aparat penegak hukum (APH), kasus tersebut tidak ditindaklanjuti. Bahkan dirinya pernah dipenjara selama empat bulan hanya karena dituding menyebabkan kerusakan kecil pada pintu air, yang ditaksir tak lebih dari Rp1 juta.


“Saya tidak pernah menyangka bisa langsung ditahan hanya karena itu. Semoga keadilan bisa muncul di Pinrang, jangan orang benar disalahkan, lalu orang salah dibenarkan,” keluhnya.


Situasi ini semakin runyam setelah beredar isu bahwa Cekdam Radda adalah milik pemerintah, meski hingga kini belum ada keputusan pengadilan yang menguatkan klaim tersebut. Hal itu diungkapkan Yuyun, menantu Sinada, yang merasa keluarganya benar-benar terzalimi.


“Kami ini orang kecil, pendatang di Kampung Radda. Tapi jangan karena itu kami dizalimi. Kami hanya menuntut keadilan,” tegas Yuyun.

Sejumlah pihak menilai, kisruh ini tidak lepas dari campur tangan oknum tertentu, termasuk yang diduga berasal dari kalangan partai politik. Konsultan hukum yang enggan disebut namanya menyebutkan, kasus ini seakan sengaja diaduk untuk memunculkan konflik horizontal.


“Lucunya lagi, saat Sinada melaporkan pencurian ikan sebanyak 5.000 ekor, jawabannya bukan ditindak polisi, tapi disuruh tunggu Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD. Ini sangat aneh dan tidak sejalan dengan hukum yang berlaku,” ujarnya.


Warga berharap, aparat penegak hukum di Kabupaten Pinrang, khususnya pimpinan baru Kapolres dan Kasat Reskrim, segera menindaklanjuti kasus ini secara adil dan transparan agar tidak semakin menimbulkan keresahan masyarakat.(Red)