LABUAN BAJO, NTT, Mosulbar.com — Proyek preservasi jalan nasional di ruas Labuan Bajo – Malwatar – Batas Kota Ruteng dengan nilai kontrak fantastis Rp125,7 miliar kini menjadi sorotan tajam publik. Proyek yang digadang-gadang sebagai bagian dari infrastruktur strategis nasional warisan pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, justru menyisakan tanda tanya besar tentang mutu dan akuntabilitas di lapangan. Jummat (10/10/2025).

Pekerjaan proyek tersebut dilaksanakan oleh PT Anugerah Karya Agra Sentosa (AKAS) dan diawasi oleh PT Virama Karya (Persero) Cabang Makassar dengan nilai kontrak pengawasan mencapai Rp3,57 miliar dari pagu Rp4,38 miliar, bersumber dari APBN.


Namun, hasil di lapangan jauh dari harapan.

Aspal Mengelupas, Jalan Bergelombang, dan Pori Terbuka

Hasil investigasi lapangan menunjukkan, kondisi fisik jalan pada beberapa titik mengalami kerusakan serius. Permukaan aspal tidak rata, bergelombang, bahkan membahayakan pengendara. Tak hanya itu, lubang-lubang lama tampak dibiarkan tanpa perbaikan sempurna, sementara lapisan aspal baru sudah mulai mengelupas meski proyek belum lama rampung.

Di beberapa ruas juga ditemukan pori-pori terbuka, yang mengindikasikan kemungkinan penggunaan material di bawah standar, atau proses pengerjaan yang dilakukan terburu-buru dengan minim pengawasan.

Padahal, proyek ini berada di bawah tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Satuan Kerja (Satker) Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah III NTT.

Warga Kecewa: “Anggaran Rakyat Jangan Dikorbankan”

Seorang warga di Kecamatan Cireng, yang enggan disebut namanya, mengaku kecewa terhadap kualitas proyek tersebut.

“Kalau jalan nasional dikerjakan seperti ini tiap tahun, anggaran rakyat bisa habis sia-sia. Tidak ada manfaat jangka panjang,” ujarnya dengan nada kesal.

Pengamat: Ini Soal Integritas, Bukan Sekadar Aspal

Seorang pengamat infrastruktur lokal menilai persoalan ini tidak sekadar masalah teknis, melainkan menyangkut integritas dan tanggung jawab penggunaan uang negara.

“Ketika pekerjaan dilakukan asal-asalan, publik wajar curiga ada penyalahgunaan anggaran. Ini bukan cuma soal aspal, tapi soal kejujuran dalam membangun negeri,” tegasnya.

Desakan Evaluasi dan Sanksi Tegas

Sejumlah pihak kini mendesak Kementerian PUPR untuk segera mengambil langkah konkret, antara lain:

Melakukan evaluasi teknis menyeluruh atas hasil pekerjaan di lapangan.

Memanggil kontraktor, konsultan pengawas, dan PPK 3.2 untuk mempertanggungjawabkan mutu proyek.

Menuntut perbaikan total pada pekerjaan yang menyimpang dari spesifikasi kontrak.

Memberikan sanksi tegas, termasuk blacklist terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran berulang.

Mengusut dugaan korupsi apabila ditemukan indikasi penyalahgunaan anggaran negara.

PPK 3.2 Satker PJN Wilayah III NTT Belum Beri Respons

Hingga berita ini diterbitkan, pihak kontraktor maupun konsultan pengawas belum memberikan keterangan resmi.

Media ini juga telah mengirim pesan konfirmasi kepada PPK 3.2 Satker PJN Wilayah III NTT, Pasaoran Samosir, S.T., pada Jumat, 10 Oktober 2025, namun pesan tersebut tidak mendapat balasan.

Isi pesan konfirmasi yang dikirim media ini mencakup pertanyaan terkait penggunaan anggaran besar proyek, termasuk rincian dana swakelola sebesar Rp10 miliar dan tambahan Rp1,7 miliar yang disebut-sebut turun bersamaan dalam masa pemeliharaan.

Isi pesan konfirmasi:

“Selamat sore Pak,

Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan Bapak.

1. Ruas jalan mana saja yang dikerjakan dengan anggaran sebesar Rp125,7 miliar?

2. Dana swakelola turun bersamaan dengan proyek yang masih masuk masa pemeliharaan sebesar Rp10 miliar.

3. Dana Rp1,7 miliar juga turun pada saat dana swakelola masuk. Ruas mana saja yang ditangani oleh dana Rp10 miliar itu dan Rp1,7 miliar yang disebut?”

Transisi Pemerintahan dan Tuntutan Akuntabilitas

Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang kini tengah mewarisi berbagai proyek infrastruktur berskala besar dari era Jokowi. Publik menantikan komitmen nyata terhadap transparansi, integritas, dan efektivitas pembangunan nasional.

Di tengah harapan akan konektivitas dan pemerataan pembangunan, masyarakat meminta agar proyek infrastruktur tak lagi dijadikan seremonial politik, melainkan benar-benar memberikan manfaat nyata, berkelanjutan, dan bebas dari praktik korupsi.(*)